BUBARKAN SEKOLAH ?

 

Oleh : Syamsuwal Qomar

Minggu-minggu ini Banjarmasin Post, salah satu koran lokal di tempat saya ramai memberitakan tentang pendidikan. Hari kamis kemarin muncul judul Guru SDN xxx Tolak UN, setelah beberapa hari sebelumnya juga dipajang judul-judul seperti Belajar di Samping Kuburan, Atap-atap Sekolah yang Ambrol dan Ruangan Kelas Amblas.

Gampang di tebak, sekolah-sekolah yang bernasib “naas” demikian pastilah sekolah pinggiran. Sekolah-sekolah yang terluput dari perhatian pemerintah karena jarangnya akses ke daerah terpencil, sehingga minimnya fasilitas sudah menjadi hal yang lumrah.

Tak jarang dijumpai, karena merasa diperlakukan tak adil, sekolah-sekolah yang terletak di pelosok ini akhirnya angkat bicara. Di saat sekolah-sekolah di kota memiliki fasilitas lengkap dan mampu meluluskan sebagian besar siswanya saat UN, mereka justru “harus” menolak UN karena banyak siswa mereka yang tidak bisa baca tulis. “Bagaimana bisa lulus UN?”

Sungguh hal yang ironis memang. Wajar bila sekolah-sekolah tersebut memilih WO duluan. Tapi yang masih patut menjadi pertanyaan kemudian, masa iya peran fasilitas sebesar itu dalam dunia pendidikan, sehingga dapat menjadi alasan ketidakmampuan siswa untuk belajar dan menyerap berbagai ilmu pengetahuan?

Terpicu dari hal ini, diam-diam muncul dialog terbuka antar mahasiswa FKIP di kampus saya. Para “cagur” yang “resah” dengan masa depan mengutarakan pendapat mereka dengan lugas dan terbuka, ditemui komentar biasa sampai saran unik yang membuat kening berkerut. Pendapat yang paling ekstrim pun akhirnya muncul belakangan, BUBARKAN SEKOLAH?!

Sontak diskusi menjadi riuh, muka-muka peserta diskusi menjadi bingung mendengar saran yang (dianggap sangat) tak logis ini. Sampai-sampai teman di sebelah ikut bersuara keras, “Bangsa kita jadi tambah bodoh dong? ya sekarang saja banyak pengangguran? apalagi bila sekolah di bubarkan?”

Maklum, bukannya takut dengan khayalan, tapi kawan yang satu ini sudah bercita-cita jadi guru sejak SD. Ia merasa idealisme nya terganggu oleh saran yang tak masuk akal, jadinya merasa terkompori dengan istilah pembubaran tersebut.

Saya hanya diam menunggu keributan mereda. Setelah suasana mulai tenang, si empunya saran akhirnya diminta menjelaskan gagasan konyol tersebut. Dengan santai ia memaparkan idenya:

Melihat sistem pendidikan yang sekarang begitu ruwet, sekolah-sekolah yang mulai bergeser fungsinya menjadi tempat bermewah-mewahan, sementara sekolah-sekolah yang lain tidak kebagian fasilitas belajar. Penghargaan yang sangat kurang terhadap guru dan maraknya penyelewengan dana oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kesempatan di sektor pendidikan.

Akan lebih baik bila sekolah dibubarkan saja. Sebagai penggantinya dapat dibentuk klub-klub atau bimbingan belajar yang lebih fleksibel dan tak banyak terikat aturan. Mereka bisa didaftarkan secara resmi dan bebas menentukan waktu sendiri, jadi belajar bisa kapan dan dimana saja.

Guru-guru yang tadinya sebagai pengajar juga bisa beralih profesi menjadi mentor, mereka bisa menetapkan iuran sendiri dari murid-murid sehingga bisa lebih bebas berkreativitas dengan kurikulum yang ditetapkan, tak menutup kemungkinan, nantinya mereka akan lebih dihargai dengan cara tersebut.

Tanggung jawab jadinya terkesan lebih merata dan mengena kepada individu pelajar, bukan atas nama institusi. Bagi pelajar yang kurang paham dapat bertanya pada yang lain, tapi bila mereka diam, dengan cepat pula mereka akan tertinggal.

Tentu saja pemerintah masih perlu memfasilitasi, perlu didirikan banyak perpustakaan sebagai media pembelajar atau yang bisa difungsikan sebagai ruang diskusi dan ruang pertemuan yang dapat dipakai bergantian setiap hari. Beberapa tempat yang bisa memfasilitasi para murid tapi tak meski mengeluarkan biaya banyak.

Setuju atau tidak, hanya sekedar saran dari teman mahasiswa yang “cetek” ilmunya (h3w). Sebenarnya yang ingin ia tekankan sederhana. Pendidikan sejati adalah proses pembelajaran secara otodidak yang dapat diperoleh di mana saja, tanpa harus mengkungkung pemikiran siswa yang cukup terbatas belajar di sekolah.

Terus terang saja, khayalan saya tidak sampai kesana. Tapi kalau berbicara opini, tetap saja sekolah menurut saya penting. Saya tidak setuju bila sekolah dibubarkan, dan untuk belajar otodidak, seorang siswa juga tidak mesti berhenti atau sama sekali tidak sekolah.

Mereka dapat membagi waktu antara belajar di sekolah, mencari pengetahuan di luar melalui buku-buku atau sastra yang lain. Di internet maupun perpustakaan, tapi bila di daerah terpencil yang minim fasilitas? Tetap saja susah. Bukan itu saja, perbaikan sistem perlu dilakukan secepatnya sebelum dunia pendidikan kita bertambah kritis. Bila tak ada perubahan, Masuk akalkah bila sekolah benar-benar dibubarkan?

13 thoughts on “BUBARKAN SEKOLAH ?

Add yours

  1. Syukur cagur ada yang resah …pelihara sampai jadi guru … Cona apa komentar guru (dan organisasi guru) Pemerintah (DPR) mengajukan anggaran Pemilu 2009 Rp50 triliun. Hebat, jauh lebih besar dari anggaran pendidikan? Penting pemilu dari pendidikan bo? Sebelum jadi guru asahlah cara berpikir. Jangan nonton infotainnent aja he he. Saya yakin generasi guru ke depan lebih baik

  2. Mas Qomar, ngenes juga yaa melihat skolah dalam gambar itu. dan saya setuju dengan usulan teman sampean itu agar bubarkan saja sekolah! jika…. memang tidak mau mengurusnya…

    Kenapa harus ada paraghraph tiga dari bawah. padahal saya lebih setuju gak usah ada mas, biar terwakili usulan teman saudara yang nyeleneh tapi tak remeh itu…

    BUBARKAN SEKOLAH, SAATNYA SEKOLAH DI LUAR SEKOLAH.. bukankah kini pemerintah juga memfasilitasi belajar di luar sekolah.. bahkan ada subditnya … PLS gimana menurut sampean?

  3. Wah, sayang ya…. kalau sarana sekolah seperti itu terbengkalai. Memang benar sih, pendidikan bisa didapatkan di luar sekolah, namun tentu pendidikan luar sekolah dan juga pendidikan di dalam sekolah, masing2 punya kelebihan dan kekurangannya sendiri2. Sebab itu seyogianya sekolah sebisa mungkin dipertahankan, karena ya itu tadi, pendidikan dalam sekolah dan pendidikan luar sekolah bisa saling melengkapi untuk membentuk individu yang matang intelegensia,emosi dan moralnya. Di negara manapun, sarana fisik sekolah tetap diperlukan. Jadinya sayang ya, kalau ada sekolah yang harus dibubarkan! 😦

  4. Sekolah dibubarkan? Wacana itu sebenarnya sudah berkembang sejak lama sebagai wujud ketidakpuasan terhadap sekolah yang dinilai telah bergeser peran dan fungsinya.Muncullah sekolah2 alternatif semacasm homeschooling. Hanya saja kalau mesti dibubarkan, lantas anak-anak yang tidak memiliki budaya otodidak terus gimana?

  5. @ EWA : Itulah pak, sepertinya potret pendidikan di negara kita semakin suram. Sementara nasib guru banyak yang belum jelas, pemerintah justru lebih suka meributkan hal-hal lainnya. Padahal yang mendidik anak-anak mereka kan guru? (saya yakin, bapak lebih banyak mengetahui hal-hal demikian)

    Insya Allah, kami para cagur akan terus belajar dan belajar. Demi mengisi masa depan dan menjadi penerima tongkat estafet generasi selanjutnya, meskipun kadang masih rada lemot, h3w, harapannya mohon bimbingan dari orang-orang yang sudah banyak “makan garam” di dunia pendidikan seperti bapak.

    @ Mas Kurt : Iya mas Kurtubi, banyak juga yang mendukung pendapat “BUBARKAN SEKOLAH” ini di kampus. Maklum, susah memang menjaga emosi bila sudah berbicara tentang pendidikan di negara kita.

    Namun untuk benar-benar membubarkannya mungkin terbilang mustahil, karena bagaimanapun, sekolah yang ada sekarang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan.

    Penilaian saya, Pendidikan Luar Sekolah justru dimengerti sebagai hal yang sangat penting dalam hidup, maka oleh itu, patut menjadi perhatian utama bagi para pelajar. Alangkah baiknya bila keduanya bisa saling melengkapi, jadi proses pengajaran ada di sekolah, belajar juga di luar sekolah. (itu pendapat saya yang masih cetek ilmunya, h3w)

    Perbaiki sistem pendidikan secepatnya, lakukan regenerasi yang cepat dan sehat, sarana sekolah-sekolah yang bobrok harus segera diberi perhatian, (seperti yang mas Kurt sampaikan) jangan hanya dibiarkan tak diurus, perhatikan nasib guru dan mereka yang mendedikasikan diri terhadap pendidikan di negara ini.
    Hidup Pendidikan di Indonesia.

  6. @ Yari N.K : Setelah dipikir-pikir, memang sayang juga bila sekolah dibubarkan mas Yari (saya mau kerja dimana? h3w).

    Saya setuju beberapa hal positif masih bisa didapat di sekolah, seperti kemampuan ber organisasi dan ber sosialisasi yang sehat dapat di ajarkan melalui kegiatan OSIS dan lain-lainnya.

    Saling melengkapi itulah yang terbaik. Seiring perkembangan zaman juga, saya justru memandang dan berharap, mudah-mudahan sekolah mampu menjadi benteng sosial disamping keluarga bagi para siswanya. Bisa melindungi mereka dari erosi moral karena perkembangan zaman yang semakin modern. Maka oleh itu…Perbaiki sekolah-sekolah yang BOBROK secepatnya.

    @ Sawali : Wah, tadinya saya juga sempat yakin kalau pak Sawali pasti sering mendengar wacana seperti ini.

    Itulah pak, memang juga muncul opini demikian di tempat saya. Kelemahan sekolah karena berkesan “spoon feeding” terhadap siswanya, susahnya, memang gampang memunculkan pendapat tersebut, tapi tidak semua individu mampu belajar unggul sebagai otodidaktor.

    Mungkin disini gunanya sekolah ya? sebagai pengantar untuk menanamkan nilai kedewasaan, agar siswa mengerti konsep pendidikan seumur hidup, PLS, hingga mampu menjalani hidup lebih bermakna selepas mereka lulus dari sekolah.

  7. Jadi ingat sekolah saya dulu. Bahkan lebih parah. Gedungnya jauh lebih usang. Semua dari kayu. Tapi, saya harus berterima kasih kepada Kepseknya. Karena beliaulah saya bisa menulis sekarang.

    Sekolah dibubarkan? Tidak semestinya seperti itu. Kalau pemerintah tidak peduli, setidaknya kita peduli bukan?. Belajar otodidak itu setidak semudah yang kita pikirkan. Perlu adanya motovasi diri yang tinggi.

  8. @ Hanna 79 : Benar mbak, belajar otodidak memang tidak semudah yang dibayangkan. Perlu motivasi dan konsentrasi yang tinggi.

    Saya juga suka sarannya, kalau pemerintah tidak peduli, setidaknya masih ada kita kan yang masih berusaha untuk peduli pendidikan?

    @Aprikot :Thanx dah berkunjung, kayaknya “ngenes” nya sama dengan teman-teman saya di kampus, h3w. Takut juga kalau jadi kenyataan?

  9. Sekolah bubar? Anak Indonesia nggak ada yang belajar dong, kenapa? karena fenomena ironis di Indonesia yang sudah sedemikian mengakar adalah belajar adalah sekolah dan sekolah adalah belajar itu sendiri.

    Jadi, bisa-bisa aja sekolah dibubarkan. Dengan catatan, mind set masyarakat kita dulu yang sedikit diubah. Belajar sepanjang hayat, dimana saja, kapan saja, sama siapa saja.

    Seperti kata Pak Sawali di atas, kalo sekolah dibubarkan, gimana nasib mereka2 yang nggak punya jiwa otodidak? hehe…

  10. Mengenai bangunan sekolah yang rusak parah, menurut saya bukan karena kurangnya anggaran perbaikan. Tapi lebih pada masalah PEMERATAAN perbaikan sarana sekolah.

    Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa proyek perbaikan sekolah menjadi lahan bisnis. Jika sang Kepsek pandai melobi maka akan dapat proyek, sebaliknya jika kepseknya tidak mempunyai koneksi maka sampai robohpun sekolahnya tidak diperhatikan. Apalagi sekolah di daerah pinggiran.

    Sebenarnya banyak proyek rehab sekolah. Misalnya dari dana APBD Kabupaten, APBD Provinsi, DAK, bahkan sampai dari hibah luar negeri. Tapi selalu yang memperoleh proyek sekolah-sekolah yang itu-itu saja.

    Jadi jangan heran jika sekolah yang sebenarnya masih bagus tapi mendapatkan rehab, sebaliknya sekolah yang hampir roboh tidak mendapatkan rehab. Yaa, semacam rebutan.Siapa yang kuat (lobinya) maka dia yang dapat…

  11. @rahayusuciati : Berarti merubah pandangan tentang sekolah lah yang paling utama dilakukan

    Bukannya gitu mbak Suci 🙂 (sori baru balas ya.., habis komentnya keselip-selip h3w)

    Paradigma sekolah=belajar tak selamanya benar. Hidup=belajar mungkin lebih memicu kita untuk terus meningkatkan kemampuan diri.

    @Syam al-Ideris :Wow, kalau itu yang terus menerus terjadi. Berarti paham “kapitalisme samar” sudah mulai merasuk kuat dalam dunia pendidikan kita.

    Mereka yang kuat akan semakin kuat, yang lemah dan terpencil akan semakin terpuruk. Mungkin yang perlu disolusi, bagaimana ya, pak Syam membongkar hal demikian sampai ke akar-akarnya.

  12. Sekolah tak bisa dibubarkan! Yang bisa dibubarkan adalah pikiran kita yang tidak peka terhadap persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hanya masalahnya sejauh mana pihak dinas pendidikan benar-benar menjalankan amanat untuk memperhatikan segala sarana dan prasarana pendidikan.

    Banyak sekali gedung-gedung sekolah yang hancur tinggal tulang.Nasibnya memburuk karena sekolah yang letaknya di pinggiran itu tidak dianggap sama sekali. Sementara bantuan berlimpah digelondor ke sekolah-sekolah unggulan.

    Nasib … nasib!

    Tabik!

Leave a reply to rahayusuciati Cancel reply

Create a website or blog at WordPress.com

Up ↑